\
JAKARTA- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai, manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak pernah puas dengan ketentuan yang diberlakukan pemerintah. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu disebut selalu menuntut perlakuan lebih. Karena itu, dalam pertemuan terakhir dengan Freeport, pemerintah memutuskan untuk memberikan tiga opsi.
Pertama, Freeport harus mengikuti ketentuan pemerintah dengan keistimewaan untuk terus berunding membahas kepastian stabilitas investasinya di Indonesia. ”Stabilitas ini saya bilang perlu, karena ada di Kontrak Karya (KK),î kata Jonan di Gedung DPR, (20/2) kemarin.
Kedua, Freeport harus mengikuti ketentuan perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Jika mengikuti ketentuan ini, mereka akan diberi izin rekomendasi ekspor yang memberi manfaat bagi keberlangsungan bisnis mereka. Hanya, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1/2017 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 dan Nomor 6/2017, perusahaan tambang yang telah berstatus IUPK harus membangun fasilitas pemurnian atau smelter di dalam negeri, dalam jangka waktu paling lambat lima tahun. Untuk poin kedua, Jonan menyebut Freeport berkilah bahwa perusahaan membutuhkan perpanjangan kontrak dulu agar dapat meneruskan investasi di tambang dan membangun smelter. ”Mau perpanjang investasi, kami kasih. Setelah itu bahas divestasi. Kami juga sudah terbitkan izin ekspornya (17/2) lalu,” jelas Jonan.
Ketiga, bila Freeport tak juga menyepakati berbagai revisi aturan dari pemerintah, mereka boleh mengajukan keberatan sesuai konstitusi hukum yang berlaku. Jonan memastikan, pemerintah memberi masa waktu untuk PTFI memikirkan hal-hal tersebut selama enam bulan sejak izin ekspor diberikan, yakni (17/2) lalu, sembari menyesuaikan aturan dengan UU yang ada. Namun Freeport ternyata bersikeras mempersingkat masa berpikir ulang terhadap seluruh aturan pemerintah itu, dan berbalik memberi waktu kepada pemerintah untuk mempertimbangkan keberatan mereka selama 120 hari sejak Jumat itu juga.
Freeport —pemilik tambang emas dan tembaga terbesar dunia di Papua— sebenarnya sudah mendapatkan banyak keistimewaan yang tidak diterima perusahaan tambang lain. Misalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77/2014, perpanjangan kontrak tambang baru bisa diajukan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Kontrak Freeport akan habis di tambang Grasberg, Papua, pada 31 Desember 2021. Artinya, baru pada 2019 izin baru bisa diberikan. Namun dalam MoU pemerintah dengan Freeport tahun 2014, ada sinyal kuat pemberian perpanjangan kontrak untuk perusahaan tersebut. Ini tidak didapat perusahaan tambang lain.
Hanya, kerumitan hubungan bisnis antara pemerintah dan Freeport ternyata tak membuat Jonan geram dan berpikir untuk memutus kerja sama melalui pencabutan statusnya sebagai perusahaan strategis nasional. Pasalnya, Jonan masih yakin, persoalan ini lebih merujuk pada bisnis sehingga diskusi antarkedua pihak bisa menjadi solusi.
Terpisah, induk PT Freeport Indonesia, Freeport McMoRan Inc menegaskan akan tetap beroperasi di Indonesia kendati tidak tercapai kesepakatan antara pemerintah dan perusahaan mengenai status kontrak pertambangan. ”Kami berkomitmen untuk tetap di Indonesia. Ini sumber daya yang penting bagi Freeport, juga merupakan objek penting bagi pemerintah dan Papua,” kata Presiden dan CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, dalam jumpa pers di Jakarta, (20/2).
Richard menuturkan, selama beroperasi di Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu telah menginvestasikan 12 miliar dolar AS dan sedang melakukan investasi 15 miliar dolar AS dengan menyerap 32.000 tenaga kerja Indonesia. Pemerintah Indonesia juga disebutnya telah menerima 60 persen manfaat finansial langsung dari operasi Freeport. Pajak, royalty, dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah sejak 1991 telah melebihi 16,5 miliar dolar AS. Freeport McMoRan telah menerima 108 miliar dolar AS dalam bentuk dividen.
”Pajak-pajak, royalti-royalti, dan dividen-dividen di masa mendatang yang akan dibayarkan kepada pemerintah hingga 2041 diperkirakan melebihi 40 miliar dolar AS,” imbuhnya. Richard menegaskan, perusahaan telah berkontribusi hingga 90 persen dalam kegiatan ekonomi Mimika, Papua. Bahkan, ia mengklaim sepertiga kegiatan ekonomi di Papua ditopang oleh bisnis Freeport. ”Selama sisa kontrak, Indonesia akan menerima lebih dari 40 miliar dolar AS. Aset ini terlalu besar bagi kami untuk keluar. Yang kami butuhkan adalah mencari solusi untuk kerja sama dan kami berkomitmen bekerjasama dengan pemerintah,” ujarnya.
Richard menjelaskan, sejak berakhirnya izin ekspor pada 12 Januari 2017, kegiatan operasi Freeport sudah terganggu. Ia mengungkapkan perusahaan bahkan telah berhenti beroperasi sejak 10 Februari lalu, lantaran tidak ada tempat penyimpanan konsentrat. Hal itu diperparah dengan pemogokan kerja oleh karyawan smelter Gresik, yang hanya mampu menyerap 40 persen produksi konsentrat dari tambang di Grasberg. ”Kami hentikan operasi pabrik 10 hari yang lalu karena tidak ada storage (penyimpanan) untuk simpan konsentrat dan tidak bisa ekspor konsentrat. Kami tidak bisa menghasilkan produk yang tidak bisa kami jual. Akibatnya, kami turunkan produksi sangat tajam,” ujarnya.
Lakukan Efisiensi Ia menambahkan, Freeport akan melakukan efisiensi dan memangkas biaya-biaya, termasuk melakukan pengurangan karyawan. ”Kami lakukan pengurangan karyawan dua hari lalu kepada kurang dari 10 persen ekspatriat kami. Minggu ini juga kami akan stop karyawan kontraktor kami. Dari 32.000 karyawan, 12.000 karyawan merupakan karyawan langsung kami,” katanya. Richard mengaku prihatin dengan keadaan tersebut, namun ia menegaskan hal itu dilakukan bukan untuk menekan pemerintah dalam rangka negosiasi status kontrak. ”Kami lakukan ini bukan karena negosiasi dengan pemerintah tapi hanya terpaksa agar bisnis bisa berjalan secara finansial. Kami harap bisa segera ada jalan keluar,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui PP Nomor 1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang kontrak karya (KK) harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.
Jonan berharap Freeport tidak alergi dengan divestasi hingga 51 persen sebagaimana tercantum dalam KK pertama antara Freeport dan Pemerintah Indonesia dan juga ditegaskan dalam PP Nomor 1/2017. Memang, kata Jonan, ada perubahan ketentuan divestasi menjadi hanya 30 persen karena alasan pertambangan PTFI adalah pertambangan bawah tanah. ”Divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat agar Freeport dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta Papua khususnya, ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia,” ujarnya.
Jika berubah menjadi IUPK, perusahaan harus mengikuti aturan perpajakan yang berlaku, tidak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir. Freeport menolak melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam Kontrak Karya pada 1991 silam. Freeport McMoRan Inc menilai pemerintah Indonesia telah memutuskan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada 1991 secara sepihak dengan mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Freeport berencana menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. (** RMC)